Part 5: Tiara (Bukan) Anak Cengeng
Author: pujiarya
Menangis, itulah senjata Tiara. Bisa juga dibilang itulah bahasanya untuk menolak maupun mendapatkah apa yang dia inginkan. Saat tidak mau menulis karena capek, dia menangis. Saat tidak mau mengerjakan latihan soal, dia pun menangis. Apalagi pada saat petugas Puskesmas datang, keras sekali tangisnya. Dia tidak mau disuntik. Ketika dia merasa tidak enak badan, dia pun menangis.
Pertama kali senjata itu dipakainya, merinding juga aku dibuatnya. Ketika aku tanya, tidak membuat reda tangisnya, tapi malah menjadi-jadi. Tidak enak juga kalau aku biarkan.
Kedua kalinya, aku masih agak bingung dibuatnya, apa yang harus kulakukan. Kalau aku beri perhatian, tidak pula menghentikan raungannya. Atau aku abaikan saja. Apa kata dunia? Oh, Tiara.
Untuk ketiga kalinya Tiara menangis. Aku dekati dia. Aku tanya apa yang membuatnya menangis, namun tangisannya semakin keras. Teman sebangkunya menjawab, tangannya sakit. Aku perhatikan memang ada luka kecil di tangannya. Menurutku itu luka kecil saja, bukan luka yang seharusnya membuatnya menangis seperti itu.
Apa yang harus aku perbuat, Tiara? Aku harus mengambil sikap, itu tekadku. Ketika aku tahu lukanya tidak parah, aku menyimpulkan dia menangis bukan karena terlalu sakit, tapi karena menangis itulah yang dia inginkan. Aku tawari dia obat merah. Dia mengangguk, masih dengan menangis tentunya.
Ketika lukanya sudah aku obati, dia masih menangis. Aku bilang dia boleh menangis, kalau dia rasa menangisnya sudah cukup dia harus menghentikan tangisannya. Supaya teman-temannya yang ingin belajar tidak terganggu dengan raungannya. Aku pun meninggalkannya dan kembali mengajar di depan kelas. Apa yang kemudian terjadi. Ketika aku mulai asyik belajar dengan teman-temannya, dia hapus air matanya dan ikut belajar, seperti lupa kalau dia baru saja menangis
Pada saat dia menangis untuk keempat kalinya. Aku sudah tahu apa yang harus aku perbuat. Aku dekati dia untuk tahu alasan yang membuatnya menangis. Setelah tahu dan tidak terlalu berbahaya, aku tinggalkan dia untuk melanjutkan aktivitasku. Namun, aku tetap memantaunya dari jauh, supaya dia tidak besar kepala dan aku juga masih tahu kondisinya.
Tangisan kelimanya, keenamnya dan sampai ke berapa aku lupa. Hal itu terus aku lakukan. Tidak lupa aku bilang. Menangis itu boleh tapi menangislah untuk sesuatu yang layak untuk ditangisi. Kalau ada sesuatu yang ingin diutarakan bicaralah, jangan menangis. Ibu pasti mendengar suaramu, dan tidak menghukummu.
Lama kelamaan tangisan Tiara berkurang. Dia mau berbicara, mengungkapkan apa yang ada di hatinya. Hal-hal kecil yang biasanya dia tangisi tidak kujumpai lagi. Pada suatu kesempatan aku ajak dia bicara, aku bilang bangga padanya karena dia sudah tidak cengeng lagi. Tiara tersenyum. Senyum yang manis.
Tersenyumlah, Tiara. Semanis masa depan yang akan kau jelang!
230710 — pay